Suatu ketika, aku sejenak menerka isi dadamu
Membaca matamu, menyimak degup jantungmu
Dan aku mengerti bahwa kau masih menaruh
setangkup air di atas daun yang dulu kau tinggal
Dan aku ingin pastikan penglihatanmu
Aku ragu-ragu tak tahu
Lalu kau pun berkata hanya masa lalu
Aku tak sepenuhnya percaya kata-kata itu
Aku lebih yakin pada isyaratmu
Yang terbaca padamu dan yang terdengar dariku
Hancur berkeping-keping aku
Tapi marahku tak beralasan padamu
Pada apa harus aku jadikan marahku
Pada udarakah?
Pada danaukah?
Pada samuderakah?
Atau pada sang waktu yang tak jua pergi saat aku
terluka parah, dan tak segera datang saat aku nantikan geraknya melewatiku
berlalu?
Atau aku harus tenggelam dalam dekap kebimbangan
sebelum aku jadi gelisah menanti tetes embun yang berjatuhan dari ujung
dedaunan kala fajar itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar