Rabu, 03 April 2013

Lika-liku Aku


            Untukku bukan hal yang mudah menapakkan kaki pertama kali di Jogja. Sebuah kota yang ramah, sejuk, dan damai. Namun hatiku kala itu belum seramah, sesejuk dan sedamai kota ini. Banyak sekali perubahan drastis yang kuhadapi. Simak kisahnya :D
            Sebelumnya aku tinggal di Cilebut, sebuah kecamatan di bagian barat Kota Hujan, Bogor. Masa kecilku disana. Di Cilebut aku tinggal di sebuah perumahan yang sangat padat dan ramai, namanya perumahan PWI Jaya. Rumahku bertempat di blok B-4 no.9. Alamat itu sudah berada di luar kepalaku sejak aku masih TK. PWI bukanlah perumahan yang elite, tapi sangat sederhana, bahkan kalangan menengah bawah juga banyak yang tinggal disitu. Ia juga diapit oleh wilayah perkampungan yang memiliki kebun cukup luas.
            Setiap sore perumahan PWI selalu dipadati oleh anak-anak yang bermain. Ada yang bermain sepak bola, layang-layangan, sepedaan, lompat tali, dan lain-lain. Dulu juga ada andong dan kereta-keretaan yang melintas di perumahan ini sebagai alternative hiburan untuk anak-anak. Eits, tapi tidak hanya itu, masjid pun juga tak kalah rame karena dipenuhi anak-anak yang mengikuti kegiatan TPA. Sungguh masa kecilku yang indah dan menyenangkan.
            Karang taruna remaja disana juga bagus, solidaritasnya tinggi, anggotanya banyak, dan sangat aktif mengadakan event-event untuk masyarakat. Misalnya lomba tujuh belasan, kartinian, kegiatan di bulan Ramadhan, dan lain-lain.
Aku memiliki banyak teman sebaya. Dalam satu gang saja aku memiliki 3 teman sebaya. Teman sebaya, adik dan kakak kelas yang satu SD denganku juga banyak yang tinggal di PWI, kita biasanya berangkat ke sekolah bersama dengan mobil jemputan. Oh ya nama SDku adalah SD Negeri Kebon Pedes 1 Bogor. Sebuah SD yang konon katanya kini menjadi SD terfavorit di kabupaten Bogor. Hehe
            Percaya atau tidak, dulu aku sempat menjadi bintang di SD ku itu. Selama 4 tahun sekolah disana, tidak pernah satu kali pun aku berada diluar peringkat 3 besar. Aku kerap mendapat peringkat 1, aku juga sempat menjabat ketua kelas 2x periode. Aku pun menjadi kebanggaan orang tuaku, guru-guru, teman-teman, dan semua yang mengenalku.
            Selain prestasi akademik yang mengudara. Aku juga punya prestasi non akademik yang orang-orang takkan pernah percaya bahwa aku pernah bergelut di dalamnya selama 2 tahun, yaitu seni Tari. Ya, dulu aku ikut les menari di tetanggaku. Aku kerap ikut lomba dan sesekali tampil mengisi acara. Yang paling terngiang dalam ingatanku adalah ketika aku dan teman-temanku mengikuti sebuah lomba seni tari di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) Jakarta dan berhasil meraih juara 3 se-jabodetabek, yang membuatku lebih bangga adalah karena saat lomba posisiku berada di paling depan. Hehe.. menjadi kebanggaan tersendiri buatku.
            Selain pandai menari, aku juga pandai bermain lompat tali, permainan yang sedang naik daun kala aku kelas 3-4 SD. Di lingkungan rumah maupun sekolah, permainan itu selalu dilakukan anak-anak sebayaku. Oleh karena itu terkadang aku menjadi rebutan teman-temanku agar aku bisa berkelompok dengan mereka.
            Hmm, kalo masalah cinta monyet. Dulu aku cukup menjadi perhatian teman laki-lakiku yang sensasional dan berbagai macam latar belakang. Haha. Ada yang terkenal karena sifatnya yang jagoan, yang kaya, yang pintar, bahkan yang sholeh pun juga ada. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekelasku sendiri. Dulu cara PDKT mereka adalah dengan mengejek-ejekku, dan akhirnya kami saling berkejar-kejaran sampai jantung mau copot karena ngosh-ngoshan. Yahh namanya juga anak SD.
            Sejak kecil aku juga sudah dilatih menjadi pribadi yang mandiri, dapat bertanggung jawab dan mengurus diri sendiri. Aku masuk sekolah pukul 12.30 dan pulang pukul 16.30 sore, oleh karenanya di pagi hari aku sudah ditinggal sendiri di rumah, bapak sudah berangkat kerja di Jakarta, ibu mengantar dan menunggu adikku yang kala itu masih TK di sekolahnya. Rasanya sedih sekali. Tapi waktu di pagi hari aku gunakan untuk les bahasa Inggris dan les sempoa di perumahan lain yang tak jauh dari rumahku. Aku berangkat les sendiri dengan menggunakan angkutan umum.
            Yaa, begitulah masa kecilku di Bogor.. Suasananya menyenangkan. Banyak yang menyayangiku, dan tidak ada yang meremehkan aku. Semua berjalan sempurna. Ibarat artis, kala itu hidupku tengah naik daun. Aku bisa dengan mudah meraih apapun yang kumau.
            Tahun 2005 adalah tahun dimana aku harus berevolusi. Aku dan keluargaku pindah ke Yogyakarta. Seperti di sinetron, aku pikir Jogja adalah kota yang terbelakang, ndeso, dan…..aku yakin akan lebih bersinar disana. Tapi ternyata tidak. Semua itu tidak benar. Justru disini semua berkebalikan dengan hidupku di kota sebelumnya.
            Aku pindah ke Yogyakarta karena bapak naik pangkat menjadi kepala cabang BTN Syariah Jogja di Condongcatur, istilahnya bapakku itu dimutasi. Bapak asli Jogja, oleh karenanya ditempatkan di Jogja merupakan suatu yang ajaib dan sama sekali tidak disangka-sangka. Dari keluarga bapak yang masih tersisa di Jogja adalah mbah kakung dan mbah putri, Oom, dan tanteku.
            Aku tinggal di perumahan Nogotirto 2 Jl.Sumatera D-46 Gamping-Sleman. Rumah itu adalah rumah dinas bapak dari kantor. Rumah itu menjadi rumah paling elite yang pernah kutempati dari 2 rumah sebelumnya, di Bogor dan di Bandung. Ya sebelumnya aku juga pernah tinggal di Bandung selama 2 th pada tahun 1999-2001.
            Aku melanjutkan sekolah di SDN Demak Ijo 1. Jaraknya hanya 1 km dari rumah. Waktu awal sekolah aku kerap diantar dan dijemput oleh supir bapak. Tapi lama-lama aku malu karena teman-temanku pada naik sepeda dan jalan kaki. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli sepeda agar aku bisa menyamai teman-temanku.
            Perubahan drastis pun dimulai. Mulai dari bahasa sehari-hari, suasana, kebiasaan, dan masih banyak lagi. Dulu waktu pertama kali aku masuk kelas dan kenalan dengan teman-teman. Aku disuruh salah satu dari mereka membaca huruf U-S-A, dan disuruh membalikkannya. Lalu aku ditertawai dan dimarahi teman-teman. Aku tahu sepertinya kata itu mempunyai makna yang jorok dan tidak baik. Aku masih ingat nama temanku yang menyuruhku itu, namanya Nurida Tri Damayanti. Haha
            Ku pikir bahasa Jawa itu lebih mudah dikuasai daripada bahasa Sunda. Karena latarbelakang keluargaku memang dari Jawa, jadi kupikir aku memiliki bakat yang lebih untuk menguasai bahasa Jawa daripada Sunda. Tapi ternyata sampai saat ini pun masih banyak kosakata bahasa Jawa yang tidak aku mengerti. Bahkan aku suka dibilang lucu kalau bicara menggunakan bahasa Jawa, katanya logatku aneh. Terkadang aku merasa asing diantara teman-teman yang sudah pandai berlogat Jawa karena mereka memang asli Jawa.
            Selain berat di bahasa. Suasana di Jogja pun berbeda. Perumahan dimana tempatku tinggal sangat sepi. Tidak ada anak-anak yang bermain, mungkin ada tapi tidak seramai kala aku di Bogor. Rumah-rumah disitu juga cenderung ‘menengah atas’, mobil sudah menjadi kendaraan yang wajib dimiliki setiap rumah. Tidak ada rumah yang tidak berpagar, dan hampir sebagian besar memiliki taman. Termasuk rumahku.
            Suasana keluargaku juga aneh. Bapak yang biasanya kerja diluar kota, berangkat setelah Subuh dan pulang setelah Isya, kini memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Kita ber-4, aku, mas Alfa, Bapak, dan Ibu, sering sekali bersama. Dulu cara bapak menghilangkan rasa sepiku dengan jalan-jalan keliling kota Jogja. Yang paling sering dan hamper menjadi rutinitas adalah ke Toga Mas, makan malam diluar, dan mengunjungi kantornya. Semua itu menjadi hal baru bagiku. Tapi ntah mengapa hatiku tetap merasa kesepian.
             Di sekolah baru, banyak sekali tantangan batin yang kuhadapi. Aku juga sempat dikucilkan, dan tidak memiliki teman. Tidak jelas apa penyebabnya. Aku juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan prestasi yang sama seperti dulu. Aku tidak pernah masuk dalam peringkat 5 besar. Aku tidak pernah juara lagi seperti dulu. Sampai saat ini pun aku bukanlah murid yang bisa diandalkan dalam bidang akademik, maupun nonakademik. Prestasi yang dulu kumiliki tidak lagi berarti karena aku telah menjadi daun yang layu.
            Setelah lulus dari SD, aku ingin melanjutkan studi di SMP Negeri 5, sekolah bapak dulu. Kata bapak SMP itu adalah yang paling favorit di Jogja. Tapi ternyata untuk diterima disana sulit juga, nem minimal masuk disana adalah 26, sedangkan nemku hanya 22,33. Betapa bodohnya aku. Dan akhirnya aku masuk di SMP swasta islam, SMP Muhammadiyah 3. Oleh karenanya aku harus menutup aurat dan yang pastinya aku harus berjilbab. Hal yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya.
            Alhamdulillah, dari situ Allah menunjukkan hidayahNya kepadaku. Untung nemku tidak mencukupi untuk masuk di SMP Negeri, untung aku sekolah di Muga, kalau tidak? Belum tentu aku bisa belajar lebih mendalam tentang keyakinanku sendiri. Belum tentu aku menutup aurat hingga saat ini. Dan belum tentu juga aku bisa memiliki teman-teman yang mampu menuntunku untuk lebih dekat padaNya.
            Mungkin kini hidupku memang tidak seindah dulu. Tapi menurutku hidupku yang dulu dapat membutakan dan membuatku terlena akan manisnya pujian. Kini walaupun aku tidak secerah dulu tapi aku akan berusaha dengan cara apapun yang diridhoiNya.
            Setelah lulus dari SMP, aku melanjutkan studi ke MAN Yogyakarta III. Lagi-lagi ia bukanlah sekolah yang aku rencanakan sebelumnya. Aku gagal lagi masuk ke SMA bapakku dulu, SMA Negeri 3. Tapi sebenarnya aku lebih tertarik SMA Negeri 1. Lagi-lagi juga alasannya karena nem ku tidak cukup, hanya 34,50. Sementara nem terendah yang dapat diterima di SMA itu berkisar antara 36-37.
            Aku tidak menyesal masuk di Mayoga, karena sebelumnya aku selalu meminta petunjuk dari Allah untuk memasukkanku ke sekolah yang terbaik untukku. Dan Mayoga adalah anugerah dari Allah :) 
Prestasi akademikku lagi-lagi sulit menonjol. 10 besar saja aku tidak masuk. Akhirnya aku beralih ke  hal lain yang menurutku aku akan bisa berkembang di dalamnya. Seperti lomba Karya Ilmiah, nge-Band, ikut Organisasi, ikut Pramuka, dan kegiatan lainnya. Alhamdulillah, kini aku selalu mencoba mensyukuri apa yang sudah aku dapat. 
            Teman-teman di Mayoga juga sholih dan sholihah, mereka sudah memiliki banyak pengetahuan Agama dan wawasan umum. Mereka cerdas, kritis, dan memiliki pendirian. Tak hanya berpotensi di bidang akademis, tapi sebagian dari mereka juga memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat. Aku bangga sekali berada di antara mereka, walaupun sering kali aku merasa minder dan tidak ada apa-apanya dibanding mereka.
             Kini walaupun nyatanya aku sulit untuk menjadi yang terbaik. Tapi selalu memohon pada Allah untuk memberiku yang terbaik. Aku tidak menyesal dengan jalan hidupku yang seperti ini. Karena masih banyak rahasia Allah yang masih menjadi harta karun di masa depan nanti. Semoga aku menjadi pribadi yang kuat dan pantang menyerah. ^_^

KEEP FIGHTING, NAILA. Remember Allah in your heart, always :-)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar