Seharusnya dia
bahagia. Dia mampu membuat bahagia kedua orangtuanya karena dia berhasil
diterima di Perguruan Tinggi Negeri, walaupun sebenarnya PTN tersebut bukan
yang paling dia inginkan, tapi dia tetap tak henti memanjatkan rasa syukur.
Seharusnya dia bahagia. Dia mampu menjadi
kebanggaan ayahnya. Ayahnya selalu memujinya dan sangat mengandalkan
keberhasilan dia kelak. Wajar saja, karena dia adalah anak pertama. Segala
fasilitas yang mendukung kenyamanannya kuliah di luar kota yang tidak jauh dari
kota dimana ia tinggal itu pun sudah dipersiapkan. Sudah jauh-jauh hari dia di
arahkan agar menjadi mahasiswa yang berprestasi dan sukses.
Seharusnya dia bahagia. Dia memiliki orangtua
yang sangat cukup secara ekonomi. Sehingga biaya kuliah yang terbilang mahal
itupun tidak menjadi masalah baginya. Namun dia tetap kukuh akan mencari
beasiswa untuk mengurangi biayanya, disamping dia memiliki dua orang adik yang
juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah dan lainnya. Segala
urusan mengenai tempat tinggal disana juga sudah selesai. Dia sangat bersyukur
atas limpahan kemudahan yang telah diberikan Allah kepadanya.
Seharusnya dia bahagia. Tapi ternyata bahagia tak sesederhana itu. Dibalik
senyumnya yang cerah, ada suatu ganjalan yang membuatnya tidak merasa bahagia
sepenuhnya. Ada rasa takut yang berkelebatan di hatinya. Dia takut jauh dari
orangtuanya, adik-adiknya, teman-temannya, dan kamu. Kamu adalah orang yang
paling dia khawatirkan, yang pertama kali muncul dalam benaknya saat dia
memastikan bahwa dia tidak akan kuliah di kota yang sama denganmu.
Seharusnya dia bahagia. Dia masih punya harapan untuk bisa dekat denganmu. Dia
tak perlu khawatir karena kamu bertekad tidak akan kuliah diluar kota. Dia
percaya, dan selalu mendoakan kamu agar kamu diterima di perguruan tinggi yang
dekat. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin kamu mendaftar perguruan tinggi di
kota yang sama dengannya, karena dulu kamu sempat merencanakannya bukan? Tapi
dia tidak berani menagih rencanamu yang dulu itu. Dia hanya mendukung kamu,
apapun yang kamu rencanakan.
Seharusnya dia bahagia. Keadaan sangat memihaknya agar selalu dekat denganmu.
Perlahan dia mulai mengenal duniamu melewati teman kamu yang baru saja dia
kenal. Dia merasa, melalui teman barunya itu dia akan selalu dekat denganmu.
Hingga akhirnya dia memastikan bahwa dia tidak akan jauh dari kamu. Dunia
terlalu sempit untuk memisahkan kalian. Tanpa dia sadari, dia pun tersenyum dan
membuat skenario indah denganmu.
Seharusnya dia bahagia. Seketika kamu memberitahunya bahwa kamu akan mendaftar
perguruan tinggi di luar kota, tapi bukan kota yang sama dengannya, kota itu
jauh sekali. Ada rasa sakit menusuk. Ternyata diam-diam kamu sudah merencanakan
ini tanpa sepengetahuannya. Dia merasa tertipu, dia merasa tidak berguna. Yah,
dia tidak berguna, dia tidak bisa membantumu yang tengah kesulitan, dia tidak
bisa menenangkanmu saat kamu goyah, dia tidak bisa membuatmu semangat saat kamu
jatuh. Dia tidak bisa memberikan solusi untuk memecahkan masalahmu.
Seharusnya dia bahagia. Dia tidak bisa menahan airmatanya luruh, tetes demi
tetes airmatanya ia usap. Dia benar-benar pedih. Isak tangisnya semalam adalah
yang pertama kali ia keluarkan setelah berhari-hari kegalauannya bersarang. Dia
kecewa, skenario indah yang dia buat ternyata pupus begitu saja. Dia terluka,
karena dia bukan orang yang memecahkan masalahmu. Dia marah, karena dia bukan
orang yang pertama kali mengetahui rencanamu. Cih! Dia memang tidak tahu diri,
memang dia siapa. Sungguh dia egois sekali.
Seharusnya dia bahagia. Kamu
bisa menemukan satu titik cerah masa depanmu. Walaupun ini masih dalam tahap
perjuangan. Tapi dia tahu bahwa kamu juga berharap diterima disana. Kamu akan
bahagia dengan caramu yang sampai saat ini belum bisa dia pahami. Kali ini
tolong maafkan dia. Dia akan mencoba untuk merasakan kebahagiaan yang
seutuhnya. Bahagia karena segala sesuatu yang dia dapat. Bahagia karena rasa
syukurnya. Bahagia karena kamu pun bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar