Senin, 22 Juli 2013

Seharusnya Dia Bahagia.

          Seharusnya dia bahagia. Dia mampu membuat bahagia kedua orangtuanya karena dia berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri, walaupun sebenarnya PTN tersebut bukan yang paling dia inginkan, tapi dia tetap tak henti memanjatkan rasa syukur.
         Seharusnya dia bahagia. Dia mampu menjadi kebanggaan ayahnya. Ayahnya selalu memujinya dan sangat mengandalkan keberhasilan dia kelak. Wajar saja, karena dia adalah anak pertama. Segala fasilitas yang mendukung kenyamanannya kuliah di luar kota yang tidak jauh dari kota dimana ia tinggal itu pun sudah dipersiapkan. Sudah jauh-jauh hari dia di arahkan agar menjadi mahasiswa yang berprestasi dan sukses.
            Seharusnya dia bahagia. Dia memiliki orangtua yang sangat cukup secara ekonomi. Sehingga biaya kuliah yang terbilang mahal itupun tidak menjadi masalah baginya. Namun dia tetap kukuh akan mencari beasiswa untuk mengurangi biayanya, disamping dia memiliki dua orang adik yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah dan lainnya. Segala urusan mengenai tempat tinggal disana juga sudah selesai. Dia sangat bersyukur atas limpahan kemudahan yang telah diberikan Allah kepadanya.
            Seharusnya dia bahagia. Tapi ternyata bahagia tak sesederhana itu. Dibalik senyumnya yang cerah, ada suatu ganjalan yang membuatnya tidak merasa bahagia sepenuhnya. Ada rasa takut yang berkelebatan di hatinya. Dia takut jauh dari orangtuanya, adik-adiknya, teman-temannya, dan kamu. Kamu adalah orang yang paling dia khawatirkan, yang pertama kali muncul dalam benaknya saat dia memastikan bahwa dia tidak akan kuliah di kota yang sama denganmu.
            Seharusnya dia bahagia. Dia masih punya harapan untuk bisa dekat denganmu. Dia tak perlu khawatir karena kamu bertekad tidak akan kuliah diluar kota. Dia percaya, dan selalu mendoakan kamu agar kamu diterima di perguruan tinggi yang dekat. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin kamu mendaftar perguruan tinggi di kota yang sama dengannya, karena dulu kamu sempat merencanakannya bukan? Tapi dia tidak berani menagih rencanamu yang dulu itu. Dia hanya mendukung kamu, apapun yang kamu rencanakan.
            Seharusnya dia bahagia. Keadaan sangat memihaknya agar selalu dekat denganmu. Perlahan dia mulai mengenal duniamu melewati teman kamu yang baru saja dia kenal. Dia merasa, melalui teman barunya itu dia akan selalu dekat denganmu. Hingga akhirnya dia memastikan bahwa dia tidak akan jauh dari kamu. Dunia terlalu sempit untuk memisahkan kalian. Tanpa dia sadari, dia pun tersenyum dan membuat skenario indah denganmu.
      Seharusnya dia bahagia. Seketika kamu memberitahunya bahwa kamu akan mendaftar perguruan tinggi di luar kota, tapi bukan kota yang sama dengannya, kota itu jauh sekali. Ada rasa sakit menusuk. Ternyata diam-diam kamu sudah merencanakan ini tanpa sepengetahuannya. Dia merasa tertipu, dia merasa tidak berguna. Yah, dia tidak berguna, dia tidak bisa membantumu yang tengah kesulitan, dia tidak bisa menenangkanmu saat kamu goyah, dia tidak bisa membuatmu semangat saat kamu jatuh. Dia tidak bisa memberikan solusi untuk memecahkan masalahmu.
         Seharusnya dia bahagia. Dia tidak bisa menahan airmatanya luruh, tetes demi tetes airmatanya ia usap. Dia benar-benar pedih. Isak tangisnya semalam adalah yang pertama kali ia keluarkan setelah berhari-hari kegalauannya bersarang. Dia kecewa, skenario indah yang dia buat ternyata pupus begitu saja. Dia terluka, karena dia bukan orang yang memecahkan masalahmu. Dia marah, karena dia bukan orang yang pertama kali mengetahui rencanamu. Cih! Dia memang tidak tahu diri, memang dia siapa. Sungguh dia egois sekali.
          Seharusnya dia bahagia. Kamu bisa menemukan satu titik cerah masa depanmu. Walaupun ini masih dalam tahap perjuangan. Tapi dia tahu bahwa kamu juga berharap diterima disana. Kamu akan bahagia dengan caramu yang sampai saat ini belum bisa dia pahami. Kali ini tolong maafkan dia. Dia akan mencoba untuk merasakan kebahagiaan yang seutuhnya. Bahagia karena segala sesuatu yang dia dapat. Bahagia karena rasa syukurnya. Bahagia karena kamu pun bahagia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar