Beberapa bulan yang lalu, aku dikenalkan oleh seseorang tentangmu. Aku senang, mungkin. Karena aku merasa kau bukan seorang biasa baginya. Aku yakin pastilah dirimu sangat berarti baginya. Mungkin darisitulah aku ingin mengenalmu lebih dekat.
Perlahan aku mencari keberadaanmu. Aku mencarimu di tengah kerumunan orang-orang yang tergopoh-gopoh untuk segera menyelesaikan tugasnya. Hingga akhirnya aku berhasil menemukanmu. Aku menatapmu lebih lama dari biasanya aku menatap orang lain. Aku melihat ketenangan di wajahmu. Tidak ada kegelisahan yang terpancar seperti mereka yang ada di sekitarmu. Wajahmu menebarkan kedamaian untukku. Sungguh anugerah Illahi yang luar biasa kau memiliki paras yang indah. Aku menyukaimu di pandangan pertamaku. Mungkin kau belum mengenal siapa aku. Tapi kau begitu berperan untukku pada hari itu, saat aku baru saja ingin mulai mengenalmu.
Setiap aku melewati tempat dimana kau biasa bercengkrama, aku selalu memperhatikan ke dalamnya. Mencari lagi keberadaanmu. Mungkin kau terlalu dekat denganku, tapi sayangnya kau selalu berada di belakangku hingga aku tak bisa melihatmu. Aku jarang bertemu denganmu saat itu.
Tepat pada suatu sore, waktu dimana aku memutuskan untuk bertegur sapa denganmu. Ya, kau kini tau siapa aku, setidaknya nama dan wajahku sudah terdaftar di ingatanmu, walau belum tentu kau mau mengingatku atau tidak. Tapi perkenalan itu berlangsung begitu sempurna untukku. Ditambah dengan tawaranku untuk sedikit berbasa-basi.
Lagi-lagi, aku dibuat tergila-gila oleh senyummu. Senyummu yang memantul-mantul selalu dalam ingatan ini. Benar-benar hatiku tidak dapat menahan untuk segera ingin memujimu. Aku sangat kagum melihatmu. Aku membangun angan-angan baik tentangmu di dunia khayalku. Hampir sempurna apa yang ku prasangkakan tentangmu.
Setiap aku melihatmu, aku beranikan diriku untuk menyapamu. Berharap semoga kau menyambutku. Tapi aku merasa saat itu kau tidak begitu meresponku sesuai dengan harapanku. Aku terlalu berharap kepadamu.
Tiba di suatu malam. Kau mengirim sebuah pesan singkat. Aku terkejut bukan kepalang. Kau meminta pertolongan kepadaku. Dengan sangat senang hati aku menolongmu, dan itu aku lakukan sesegera mungkin. Aku ingin kau tahu bahwa aku sungguh-sungguh ingin mengenal dan berteman denganmu.
Setelah sekian hari aku mengasingkan diri, dan tidak bertemu denganmu, aku lagi-lagi mencari keberadaanmu. Dan berhasil! Seperti yang sangat ku impikan. Kau berada di tempat dimana kau biasa bercengkrama. Aku mendekatimu. Langkahku terjontai dengan penuh pengharapan. Pembicaraan siang itu rasanya telah memberi arti khusus untukku. Kau telah memberikan sinyal untuk mempersilahkanku lebih dekat denganmu. Sambutmu begitu menyenangkanku, dan lebih dari yang aku mau.
Semakin hari pintu itu semakin lebar untukku. Aku berhasil mendekatimu, mengetahui segala yang ada padamu. Aku tak begitu paham mengapa aku sangat ingin melakukan hal itu. Tapi sesegera mungkin aku membuang jauh-jauh pikiranku yang tidak baik menyangkut hubunganku denganmu. Insya Allah, aku ikhlas mengenalmu, tanpa pamrih apapun. Aku ingin bersahabat denganmu, tidak memandang siapa dirimu sebenarnya.
Hatiku bersorak-sorak tiada henti setiap kali aku berinteraksi denganmu. Ntah itu hanya saling melambaikan tangan, mencolek-colek, saling senyum, apalagi menyapa dan berbincang.
Aku memendam rahasia, dan perasaan yang sebenarnya sungguh membebaniku. Aku sangat ingin sekali bercerita padamu karena aku yakin kau dapat membuatku tenang. Namun aku belum berani untuk memulai cerita itu. Rasanya malah aku tak pantas cerita mengenai hal yang sekiranya membuatmu akan mempertanyakan keikhlasanku berteman denganmu. Aku takut kau mengira aku meminta sesuatu dari pertemanan yang kini sudah berhasil terjalin. Sungguh aku selalu mencoba untuk lenyapkan pikiran itu setiap kali menghantuiku. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku harus bisa mengontrol diriku.
Namun rupanya takdir mengizinkan aku menceritakan semua bebanku kepadamu. Itu pula karena kau yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Walau itu tidak kau sampaikan secara eksplisit, tapi apabila aku menjadi dirimu, pastilah aku pun setengah mati penasaran dengan keganjilan yang kini telah tampak di permukaan.
Rasanya aku tidak ingin waktu cepat berlalu. Ya, aku tidak ingin berhenti bercerita denganmu. Kau menyimakku dengan seksama. Dengan sabar dan ikhlas kau mau-mau saja melihat raut wajahku yang penuh kegalauan. Kini memang aku sedang tertimpa batu besar, yang apabila tidak segera aku singkirkan maka ia dapat menindasku hingga aku benar-benar terkubur dalam tanah, hingga jauh ke dasar bumi. Aku takut kalau aku tidak dapat bangkit dari keterpurukkan yang akan menimpaku apabila aku tidak dapat menjaga diriku dengan baik. Semua itu aku ceritakan kepadamu. Namun, rasanya tetaplah aku tidak ingin lepas darimu. Aku selalu mencari topik pembicaraan lain agar kita selalu bisa bersama.
Seiring berjalannya waktu, aku yang semakin mengagumimu, mulai sedikit demi sedikit mengikuti tingkah lakumu. Meniru apa yang suka kau lakukan. Tidak banyak sebenarnya yang aku ikuti. Bahkan mungkin tiada seorangpun yang tahu, karena memang tiada perubahan yang signifikan. Aku menyembunyikan semua itu rapat-rapat di dalam sebuah tepi, kemudian aku kubur amat dalam.
Aku telah berjanji kepada seseorang yang cukup berarti untukmu, seseorang yang mengenalkan aku padamu, bahwa aku akan mengarahkanmu ke kehidupan yang lebih baik, jauh dari segala sesuatu yang membelokkanmu dari petunjukNya yang lurus. Perlahan aku mencoba untuk menularimu bagaimana seharusnya kita sebagai sebaik-baiknya wanita menjalani hidup ini. Semoga kita menjadi wanita sholehah yang terikat dalam ukhuwah islam karena Allah. Semoga semua yang aku lakukan padamu karena Allah, dan semua itu atas seizin Allah.
Baity Jannati
26-Agt-2011/12:15 Am