Genggam erat lagi derap-derap puisiku. Coba dengarlah bisikku! Pastilah enggan. Kalau tidak, berlalu begitu saja. Ya sudah, lah. Toh aku sudah cukup naif seperti ini. Bertingkah tidak terarah. Hanya terusik-usik oleh rerumputan yang kian berdendang. Sepoi-sepoi pohon yang hidupnya tentram nian buatku cemburu. Ketika waktuku sudah banyak ku torehkan, ku relakan segenapnya. Tidak salah kalau disebut bukan sia-sia!
Jangan sentuh-sentuh lagi mawar merah yang kutanam dalam kenanganmu! Biar aku cabut dengan berat rasaku, dengan engahan keringatku. Sungguh! Bukan seperti ini derita yang begitu mudah tercipta diselipan do'a. Bukan selayak ini kehendak yang membentang mengantara rindu dan cemburu.
Cahaya, beri aku cahaya dalam kelabu rinduku. Suara, beri aku suara dalam bisu amarahku. Puisi terakhir hanya kiasan sejenak. Aku tidak seperti itu, yang mudah berlayar ke samudera seberang. Kau tetap samudera sejati pada daratan yang tak lama akan lenyap tenggelam. Kejam.
Gerangan, jangan buat bola mata birumu menangani lelapku. Biar malammu sendiri. Benahi dahulu tubuhmu, usap peluh bekas permainan harimu ini, dan mintalah Tuhanmu untuk beri kasih dan kabulkan permintaan baikmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar