Tanggal 8 September 2011 bukan hari biasa bagi salah satu teman lelakiku ini. Kebetulan kami sudah dipersatukan dalam kelas yang sama sejak kami masuk di Madrasah Aliyyah. Namanya Chalid (dibaca Kholit), lengkapnya Chalidin Shaleh Zarkasyi. Dia berulang tahun hari itu. Tapi sejujurnya aku lupa. Sempat beberapa hari yang lalu terbesit untuk mengetahui tanggal lahirnya di akun facebooknya karena sebetulnya aku ingat kalau dia berulangtahun di bulan September.
Pagi itu, masih pada tanggal yang sama, adalah pagi pertama aku bertemu dengan kawan-kawan setelah terpisahkan oleh liburan akhir Ramadhan dan menyambut hari raya Idul Fitri selama dua pekan. Aku menyalami dan bahkan memeluk mereka yang perempuan sebagai ungkapan rinduku kepada teman-teman. Bahkan aku memberi kejutan untuk temanku yang kala itu duduk sebangku denganku.
Kuperhatikan mereka satu persatu, membuatku semakin merasa sudah sangat lama sekali tidak bertemu mereka. Padahal kalau dibandingkan dengan lama liburannya hanya secepat kilat itu semua berlalu. Benda-benda asing yang terlihat di berbagai sudut-sudut raganya pun satu persatu mulai terungkap dan menjadi bahan canda serta godaan antara kami. Pagi itu sungguh aku merasakan kebahagiaan yang telah lama tidak aku dapatkan dari teman-teman.
Keadaan kelaspun juga berbeda. Dimana yang semula papan tulisnya menghadap ke barat, kini dipindah menghadap ke timur, dan otomatis posisi kursinya pun juga dipindah. Aneh rasanya. Namun kalau tidak dipindahkan, sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar karena cahaya matahari yang masuk ke kelas memantul ke papan tulis bila menghadap ke barat. Istilah jawanya jadi “blereng”. Semoga dengan keadaan baru kelas kami, membuat semakin nyaman kegiatan pembelajaran.
Setelah apel pagi dan halal bihalal, kegiatan pembelajaran ditiadakan di madrasah karena para guru dan karyawan beserta keluarganya mengadakan halal bihalal tersendiri di ruang AVA madrasah. Kembali lagi ke topik semula, tentang ulangtahun Chalid. Aku yang kala itu sedang berbincang-bincang dengan teman-teman kelas sebelah, dibisikki oleh Halida, dia meminta pendapat, sebaiknya kado apa yang nantinya akan diberikan ke Chalid. “Wah, kalau rencananya mendadak, lebih baik kita datang sillaturrahim ke rumahnya saja pasti dia sudah merasa senang dan terkejut”. Begitu ku sahut Halida. Apalagi yang mau datang adalah seluruh anggota keluarga permainannya yang telah diresmijadikan sejak kami kelas 10.
Yah, anggota keluarga yang dimaksud adalah Chalid sendiri sebagai kepala keluarga yang kerap disapa “Abi” oleh anak-anak dan istrinya. Ia memiliki belahan jiwa atau istrinya yang bernama Filda, yang biasa dipanggil “Umi”. Kehidupan rumah tangga mereka terjalin dengan harmonis. Tidak pernah ada pertengkaran, tentram, dan sejahtera. Dari pernikahan mereka, lahirlah tiga orang anak, yaitu Halida sebagai putri pertama. Saat ini ia tengah menjalin hubungan khusus denganku. Kebetulan kami sama-sama berperan sebagai pembantu rumah tangga di keluarga ini. Rasanya kami adalah bagian terendah, tidak teranggap, dan teraniaya dari keluarga ini. Lalu adik perempuannya yang memiliki nama lengkap yang panjang membentang dari Sabang sampai Merauke, yaitu Chairunnisaa Miftahurrahmah Zenida Huzaen, cukup dipanggil Icha. Ia pun telah bertunangan dengan kekasihnya, Arina, yang sudah diburu Icha untuk cepat-cepat berlanjut ke jenjang pernikahan karena Icha sudah menanggung malu karena ia merasa posisinya sebagai kakak perempuan dari seorang adik laki-lakinya telah diinjak-injak begitu saja setelah didahului menikah, yaitu Afif. Namun sayang sekali rumah tangga yang Afif bina dengan Molly sang pujaan hati yang telah dinanti-nanti turun dari langit 7 hari 7 malam tidak berlangsung lama, atau dalam bahasa gaulnya adalah kandas ditengah rerumputan, eh di tengah jalan. Namun kabar terakhir mengungkapkan bahwa saat ini mereka sudah dalam proses rujuk.
Kami sepakat untuk memberikan kado special buat Chalid. Yaitu sebuah boneka kucing berwarna pink yang cantik. Kami patungan untuk membelinya. Rencananya kami akan berkunjung silaturahim ke rumahnya sepulang sekolah.
Pukul 09.30 kami berangkat ke rumah Chalid bersama-sama dengan menggunakan mobil milik Icha yang tumben-tumben sekali ia bawa ke madrasah. Di tengah perjalanan ke rumah Chalid, kami dikejutkan dengan Chalid yang saat itu sedang berkendaraan sepeda motor sedang menuju kearah madrasah. Istilah jawanya “kecelik” gitu deh. Lalu Afif berceletuk bahwa mungkin Chalid ke madrasah untuk menjemputnya karena ia sudah berjanji ingin berkunjung ke rumah Chalid pukul 09.30 tanpa sepengetahuannya bahwa Afif ternyata datang serombongan dengan kami.
Dalam perjalanan hanya ada gurauan dan tawa yang memecah hening dalam mobil Xenia abu-abu itu. Walau hati sebenarnya ada getir-getir rasa takut kalau nanti rencananya akan gagal karena tadi malah “kecelik” Chalid. Icha menyetir mobilnya dengan tangannya yang sudah mahir dan lincah, dan dengan sorot matanya menajam kedepan. Dengan penuh konsentrasi ia pun mampu membelah angin jalanan perkampungan yang penuh lika-liku untuk menuju lokasi rumah Chalid yang tidak begitu jauh dari madrasah.
Setelah mobil parkir di sebuah pekarangan yang letaknya 10 meter dari rumah Chalid, kami yang perempuan menyuruh Afif untuk masuk ke rumah Chalid lebih dahulu, setelah baru saja dipastikan lewat telepon kalau Chalid sudah kembali ke rumahnya beberapa saat.
Afif sudah masuk ke rumah Chalid. Kami pun menyusun rencana agar Chalid termangu dan terkejut dengan kedatangan kami. Melewati garasi rumahnya yang berisi beberapa sepeda roda dua milik Chalid dan keluarganya, kami menyusul Afif masuk ke dalam rumah Chalid.
Skenario pertama adalah kami semua mengucapkan selamat ulang tahun untuk Chalid, dilanjutkan dengan bersenandung sebuah permohonan nakal kami kepada Chalid. Inilah lagu “Happy Birthday” yang telah kami ganti liriknya.
“Chalid mau nraktir
Chalid mau nraktir
Chalid mau nraktir kita
Chalid mau nraktir”
Yes, Alhamdulillah kami berhasil membuat Chalid ternganga. Aku baru tahu ekspresinya kalau sedang terkejut ternyata seperti itu. Mungkin dia juga agak salah tingkah dan grogi ya? Lalu salah satu dari kami dipersilahkan untuk memimpin doa untuk Chalid. Kami menyerahkan kepimpinan itu kepada Afif, sebagai satu-satunya laki-laki yang berkunjung. Tapi ia tidak siap akhirnya kami semua mendoakannya sendiri-sendiri secara bergantian. Aku mendoakan supaya ia lancar mengurus pembuatan KTPnya karena kini ia sudah menginjak usia 17 tahun, usia minimal syarat kepemilikan KTP. Chalid pun berjanji akan menraktir kami hari Sabtu sepulang sekolah.
Sebelum kami menyudahi keakraban ini. Kami melakukan “take action” di depan kamera HP Blackberry baru milik Icha. Foto pertama hanya khusus untuk keluarga inti yang jumlahnya 5 orang. Lalu dilanjutkan dengan narsis bersama dan Chalid yang membawa boneka kucing yang kami berikan untuknya.
Oh ya kami berpesan pada Chalid agar ia setia menjaga boneka itu. Pajang di kamarnya, jangan disimpan di tempat-tempat yang tersembunyi, dan jangan diberikan kepada saudara perempuannya. Bahkan Halida menambahkan agar Chalid memandang boneka itu terlebih dahulu sebelum tidur. Ntahlah apakah Chalid benar-benar menyanggupi dengan ikhlas atau tidak. Yang pasti, ekspresinya hanya tertawa saja.
Sekali lagi, Happy Birthday ya kawan. Jadikan sisa usiamu sebagai perbaikan, pendewasaan, dan semakin mendekatkan diri denganNya. Barokallah.